Entri Populer

Selasa, 30 November 2010

KHOTBAH KENAIKAN TUHAN YESUS, KAMIS: 13 MEI 2010

Renungan, Kamis, 13 Mei 2010
Tahun C: Kenaikan Tuhan Yesus
Warna: Putih


KEMULIAAN RAJA SURGAWI DALAM PELAYANAN HAMBA DUNIAWI
Kis. 1:1-11; Mzm. 47; Ef. 1:15-23; Luk. 24:44-53


Pengantar
Tempat asal dapat dipakai untuk memahami konteks latar-belakang jati-diri kita berasal, dibentuk dan bertumbuh. Bila gereja menyebut Yesus adalah Tuhan dan Juru-selamat adalah karena gereja mengimani tempat asal Yesus Kristus bukanlah dari dunia ini, tetapi dari surgawi. Pengakuan gereja bukanlah tanpa dasar. Sebab di Yoh. 8:23, Tuhan Yesus berkata: "Kamu berasal dari bawah, Aku dari atas; kamu dari dunia ini, Aku bukan dari dunia ini”. Sehingga kemuliaan yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus selama berkarya di dunia bukanlah sesuatu yang Dia peroleh melalui kesalehan atau perbuatan amalNya. Demikian pula kemuliaan pada waktu Dia dibangkitkan dan naik ke surga juga bukanlah suatu kemuliaan yang ditambahkan kepadaNya oleh Allah. Kemuliaan Tuhan Yesus  sebagai raja surgawi yang dinyatakan pada waktu Dia bangkit dan naik ke surga adalah suatu kemuliaan yang telah Dia miliki sejak kekal. Dengan demikian kemuliaan yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus saat Dia naik ke surga pada hakikatnya menunjuk kepada jati-diriNya yang asali sebagai pribadi ilahi yang esa dengan Allah. Kristus yang dari surga kembali ke surga tempat asalNya. Hakikat inilah yang membedakan Kristus dengan umat manusia dan tokoh suci manapun juga. Karena para  tokoh yang paling suci sekalipun tetap disebut berasal dari dunia dan akhirnya mereka dinyatakan menuju surga. Mereka mulai dari “bawah” yaitu dunia dan kemudian naik ke “atas” yaitu realitas surga. Tepatnya eksistensi mereka pernah tidak ada, lalu diberi anugerah hidup yang abadi. Sebaliknya eksistensi Kristus sejak awal berasal dari kekal, dan Dia kembali kepada kekekalanNya. Kristus telah ada sejak kekal bersama dengan Allah, dan pada waktu kenaikanNya ke surga Dia kembali kepada Allah yang kekal. Jadi manakala kita memahami kebenaran ini, maka kita disadarkan bahwa iman kepada Kristus yang telah menjadi manusia dan bangkit serta naik ke surga akan memberi jaminan keselamatan bagi kita untuk hidup abadi dalam area kekekalan Allah. Tepatnya kenaikan Tuhan Yesus memberi jaminan yang paling final tentang keselamatan abadi bagi seluruh umat. Sehingga seandainya Alkitab tidak menyaksikan Tuhan Yesus naik ke surga, maka kita akan meragukan pernyataan Tuhan Yesus bahwa Dia adalah berasal dari atas, yakni surga. Selain itu melalui peristiwa kenaikan Tuhan Yesus ke surga juga menegaskan bahwa umat yang ditebusNya memiliki tujuan yang hakiki yakni surga. Umat yang telah ditebus oleh Kristus pada hakikatnya sejak semula memang berasal dari bawah yakni dunia, tetapi mereka dianugerahi keselamatan sehingga mereka memperoleh hidup yang abadi dalam persekutuan dengan Allah Bapa-Anak-Roh Kudus.

Saat Kilatan Kekekalan Menyentuh Kefanaan
Kita mengetahui bahwa saat petir menyambar bumi – maka petir (kilat atau halilintar) tersebut bergerak dari atas menuju ke bawah. Setelah menyambar bumi, maka petir tersebut  akan kembali ke atas. Bila petir tersebut mengenai suatu obyek maka dia akan menghanguskan suatu obyek dan juga menimbulkan tanda. Inkarnasi Kristus menjadi manusia seperti petir yang menyambar realitas kehidupan manusia. Peristiwa inkarnasi Kristus selama lebih kurang 33 tahun dalam hitungan sejarah hidup manusia yang terentang selama milyaran tahun akan seperti kilatan petir yang menyambar kehidupan umat manusia. Kilatan petir Kristus lebih merupakan kilatan kekekalan “Yang Ilahi” menyambar dan menyentuh kefanaan dan keberdosaan manusia, sehingga menimbulkan suatu tanda atau jejak. Hanya bedanya, kilatan petir yang alami akan menghantam suatu obyek tanpa tujuan. Sebab petir terjadi karena perbedaan potensial antara awan dan bumi, atau juga antara suatu awan dengan awan lainnya.  Jadi jika perbedaan potensial antara awan dan bumi cukup besar, maka akan terjadi pembuangan muatan negatif (elektron) dari awan ke bumi atau sebaliknya untuk mencapai kesetimbangan. Pada proses pembuangan muatan ini, media yang dilalui elektron adalah udara. Pada saat elektron mampu menembus ambang batas isolasi udara inilah terjadi ledakan suara. Tidaklah demikian halnya dengan “petir Kristus”. Karena tujuan dari inkarnasi Kristus menjadi manusia adalah karena Allah memiliki misi khusus, yaitu penyelamatan umat manusia dari kuasa dosa. Karena itu sebagaimana petir menghanguskan suatu obyek, demikian pula obyek yang dihanguskan oleh petir Allah adalah kuasa dosa agar umat manusia memperoleh keselamatan. Dengan demikian, umat manusia yang selama ini telah terbelenggu oleh kefanaan dan keberdosaan memperoleh sentuhan anugerah kekekalan Allah.

Mungkin kilatan kekekalan Allah di dalam Kristus tampak hanya sesaat saja terjadi dalam kehidupan umat manusia, tetapi efek yang ditimbulkan menjadi sesuatu yang abadi. Inkarnasi Kristus dengan peristiwa penebusanNya di samping menghanguskan dan menghancurkan kuasa dosa, juga menciptakan suatu jalan atau “tangga Yakub”. Sebab saat Kristus naik ke surga, Allah juga menarik umat manusia dari dunia ke surga. Sehingga melalui kenaikan Kristus ke surga, Allah telah membuat suatu jalan yang menghubungkan antara manusia dengan Dia. Bukankah yang menjadi problem fundamental umat manusia sepanjang sejarah adalah tiadanya jembatan penghubung antara manusia dengan Allah? Sehingga agama-agama sepanjang sejarah selalu merancang suatu upaya agar manusia secara pribadi demi pribadi perlu berupaya untuk mencapai realitas surga. Tetapi agama-agama dalam prakteknya tidak pernah berhasil untuk merancang suatu sistem keselamatan yaitu bagaimana umat secara kolektif dapat menjumpai Allah. Sehingga sangatlah tepat saat Tuhan Yesus berkata: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh. 14:6). Melalui peristiwa kenaikan Tuhan Yesus ke surga, umat manusia yang semula telah terbelenggu oleh kefanaan dan keberdosaan kini memiliki tujuan yang sebaliknya. Menurut logika, yang fana akan kembali kepada kefanaan; atau yang berdosa kembali kepada kebinasaan. Tetapi dalam iman kepada Kristus, logika tersebut tidaklah berlaku. Sebab yang fana dan berdosa dibawa oleh Kristus kepada hidup yang abadi dan dalam naungan pengampunan Allah.

Visi Kekal Kerajaan Allah
Selama 40 hari setelah Yesus bangkit, kitab Kisah Para Rasul memberi kesaksian: “Kepada mereka Ia menunjukkan diri-Nya setelah penderitaan-Nya selesai, dan dengan banyak tanda Ia membuktikan, bahwa Ia hidup. Sebab selama empat puluh hari Ia berulang-ulang menampakkan diri dan berbicara kepada mereka tentang Kerajaan Allah” (Kis. 1:3).  Hanya seorang pribadi Ilahi saja yang mampu mengkomunikasikan dan mewujudkan realitas Kerajaan Allah. Bahkan sesungguhnya melalui diri Kristus, Allah telah menyatakan pemerintahanNya yakni Kerajaan Allah dalam kehidupan umat manusia. Selama 40 hari Tuhan Yesus berbicara tentang Kerajaan Allah yang terjadi di dalam diriNya, sekaligus Kerajaan Allah yang kelak akan mencapai kepenuhanNya pada saat kedatanganNya yang kedua kali. Tepatnya saat Kristus yang bangkit berbicara mengenai Kerajaan Allah, sesungguhnya Dia sedang berbicara tentang karya keselamatan Allah yang telah terjadi secara paripurna di dalam kehidupanNya dan kelak mencapai kepenuhanNya saat Dia datang sebagai Raja. Dengan demikian kehidupan umat percaya berada di tengah-tengah 2 realitas Kerajaan Allah, yaitu Kerajaan Allah yang telah terwujud saat Kristus hadir dalam karya penyelamatanNya dan Kerajaan Allah yang akan terwujud saat Kristus datang dalam kemuliaanNya. Karena itu sejarah kehidupan umat manusia di dalam karya penebusan Kristus pada hakikatnya berada di tengah-tengah realitas kekekalan Allah. Sejarah hidup manusia tidak lagi mengarah kepada suatu tujuan akhir yang destruktif yang fana dan berdosa, tetapi mengarah kepada Kristus yang hidup dan berkuasa. Karena itu sangatlah tepat bilamana penulis Kitab Wahyu menyatakan Kristus sebagai “yang awal” dan “yang akhir” dalam pengertian Kristus sebagai “arkhe” yang menjadi penyebab awal segala sesuatu, dan “telos” yang menunjuk kepada tujuan akhir yang akan dicapai oleh segala sesuatu (Why. 21:6). Dengan pemahaman demikian, seharusnya kehidupan setiap umat manusia dan mahluk berada dalam kendali dan otoritas Kristus. Mereka menjadi “ada” adalah karena diadakan dan diciptakan oleh Kristus. Karena itu kehidupan mereka seharusnya terarah kepada Kristus sebagai tujuan akhirnya. Jadi untuk mencapai tujuan akhir dari realitas Kerajaan Allah di masa mendatang tersebut, maka mereka di masa kini harus bersedia menundukkan diri mempermuliakan Kristus. Mereka dipanggil untuk hidup menurut sistem nilai Kerajaan Allah yang telah dinyatakan oleh Kristus.

Kilatan kekekalan Allah yang telah dinyatakan dalam inkarnasi Kristus seharusnya mengubah pola pikir atau paradigma manusia untuk dikuasai oleh visi kekekalan Kerajaan Allah. Sehingga umat manusia khususnya umat percaya kini tidak lagi mau dikuasai oleh visi kehidupan yang serba dangkal dan temporal. Visi kehidupan yang kekal tidak berarti umat percaya harus menjauhi dunia. Sebaliknya mereka selama di dunia ini justru harus bekerja dengan rajin, tekun dan ulet serta pantang menyerah. Tetapi pekerjaan yang mereka lakukan tidak lagi sekedar untuk mengembangkan karier dan profesi atau pengumpulan uang. Pekerjaan sehari-hari dalam visi kekekalan seharusnya menjadi media perwujudan dari sistem nilai Kerajaan Allah. Dengan kata lain, seharusnya pekerjaan menjadi media aktualisasi diri yang membebaskan manusia dari belenggu kemalasan dan kenyamanan yang semu. Melalui pekerjaan yang ditekuni, umat dapat mengalami pemeliharaan Allah yang ajaib. Juga melalui pekerjaan yang dilakukan, umat dapat menciptakan suatu komunikasi yang didasari oleh kasih, kebenaran dan keadilan. Saat kita menempatkan pekerjaan yang kita tekuni dalam kerangka visi kekekalan, maka pekerjaan menjadi media pemurnian dan pendewasaan spiritualitas kita. Demikian pula kehidupan keluarga atau rumah-tangga kita. Makna keluarga atau rumah-tangga bukan sekedar suatu upaya untuk meneruskan keturunan, menikmati hubungan intim dan membebaskan diri dari kesendirian yang menyakitkan. Tetapi makna keluarga atau rumah-tangga seharusnya menjadi suatu realitas persekutuan kasih yang mampu merangkul yang berbeda sebagaimana persekutuan Allah Trinitas, yaitu persekutuan Bapa, Anak dan Roh Kudus. Melalui relasi kasih dalam keluarga, kita diperkenankan untuk mengalami persekutuan kasih yang kekal di dalam diri Allah. Sehingga seluruh makna dan tujuan hidup kita dalam iman kepada Kristus kini hanya terarah dan fokus kepada kekekalan yaitu realitas Kerajaan Allah.

Pembelokkan Visi Kekekalan
Walau kehidupan umat manusia telah diapit di antara 2 realitas kekekalan Kerajaan Allah, namun tidak berarti kedua realitas Kerajaan Allah tersebut menindas kebebasan kehendak manusia. Tuhan Yesus selaku manifestasi Kerajaan Allah tidak pernah membungkam kehendak bebas manusia dengan otoritas dan kuasaNya. Kuasa dan otoritas Kristus tidak pernah didasari oleh sikap yang otoriter. Sebaliknya Tuhan Yesus selalu memberi ruang dan kebebasan agar manusia dapat mengambil pilihan etis-moral yang benar. Namun risikonya ruang dan kebebasan yang dianugerahkan Allah kepada manusia justru kadang-kadang dapat terbuka suatu peluang bagi manusia untuk membelokkan visi kekekalan Kerajaan Allah. Di Kis. 1:6, para murid Yesus ternyata masih belum paham dengan makna realitas Kerajaan Allah yang diajarkan oleh Kristus, sehingga mereka mengajukan suatu pertanyaan dan permohonan, yaitu: "Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?"  Visi kekekalan Kerajaan Allah yang kudus dan bebas dari segala nafsu dan ambisi manusia, dalam substansi pertanyaan dari para murid Yesus tersebut hendak dibelokkan menjadi visi politis yang intinya bertujuan untuk memulihkan kerajaan bagi Israel. Tentu substansi dari visi kekekalan Kerajaan Allah adalah terciptanya syalom yaitu damai-sejahtera dan keselamatan bagi seluruh umat manusia. Tetapi visi para murid Yesus ternyata lebih cenderung kepada visi yang temporal dan eksklusif kepada suatu bangsa tertentu.

Sikap para murid Yesus tersebut juga merupakan paradigma dan kecenderungan diri kita. Karya pemulihan Kristus yang holistik sering hanya dipahami sebagai suatu pemulihan fisik atau ekonomis belaka. Atau karya penebusan Kristus di atas kayu salib yang seharusnya dipahami sebagai karya penyelamatan Allah yang mendamaikan dan menghasilkan pembaharuan hidup, -  dipersempit menjadi jaminan keselamatan yang sifatnya otomatis dan mekanis, yaitu: sekali selamat tetap selamat (once saved always saved). Pandangan atau pengajaran yang menyatakan “sekali selamat tetap selamat” dalam prakteknya sering dipahami sebagai suatu sikap yang fatalistik. Seakan-akan mereka yang sudah ditentukan atau ditakdirkan selamat, apapun kondisinya mereka akan tetap selamat. Akibatnya dengan pemahaman demikian, mereka tidak pernah belajar untuk menghargai dan bertanggungjawab terhadap anugerah keselamatan yang diterimanya. Sebaliknya mereka yang dianggap tidak ditentukan selamat, apapun respon mereka akan membawa mereka kepada hukuman dan kebinasaan. Seharusnya kedaulatan Allah tidak dipahami sebagai suatu hal yang deterministik-fatalistik. Dalam konteks ini sebaiknya makna kedaulatan Allah yang cenderung sewenang-wenang lebih baik dipahami sebagai “kedaulatan kasih Allah”. Jadi sikap yang mencoba untuk membelokkan visi kekekalan Kerajaan Allah dalam prakteknya sering menjadi suatu upaya untuk menduniawikan sistem nilai dan hakikat Kerajaan Allah. Akibat dari sikap pembelokkan visi kekekalan Kerajaan Allah adalah gereja sering terlibat dalam berbagai tindakan yang duniawi, bahkan tidak bermoral. Tepatnya umat percaya sering menggunakan pola-pola duniawi untuk mendirikan dan mengembangkan jemaat secara kuantitatif apakah dengan iming-iming hadiah, pemberian bantuan, menggunakan kekuatan ekonomis, pengaruh politis, atau berbagai bentuk  yang terselubung.

Hidup Dalam Rahasia Waktu

Visi kekekalan Kerajaan Allah selain sering diduniawikan kepada visi yang temporal dan duniawi, juga sering ditempatkan dalam suatu target waktu tertentu. Umat manusia lebih suka memahami rahasia masa depan dengan waktu yang serba jelas dan pasti. Peristiwa kenaikan Tuhan Yesus secara waktuwi, bernilai benar secara historis; tetapi kedatanganNya yang kedua tidak seorangpun yang mengetahuinya. Tetapi manusia sering tidak tahan mencoba untuk mengetahui waktu kedatangan Kristus. Mereka tidak tahan untuk hidup dalam rahasia waktu ilahi. Karena itu mereka berupaya untuk menghitung waktu ilahi dengan perhitungan manusiawi. Apalagi saat manusia berada dalam kesulitan dan kesukaran yang besar, maka mereka berharap agar Allah segera menyatakan kekuasaan dan kemuliaanNya. Mereka memahami makna rahasia waktu Allah hanya dari sudut kepentingan diri mereka sendiri. Pertanyaan dari para murid Yesus di Kis. 1:6 memperlihatkan sikap tidak sabar untuk menantikan masa yang telah ditentukan Allah, yaitu: Maka bertanyalah mereka yang berkumpul di situ: "Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?" Di balik pertanyaan tersebut para murid mengharapkan Allah segera merealisasikan pemulihan yang kini sedang menimpa umat Israel. Dengan sikap yang demikian, tidaklah mengherankan jika kita akan selalu gagal untuk menempatkan rahasia waktu Allah dalam kerangka yang lebih luas dan besar. Padahal esensi dan makna utama dari rahasia waktu Allah justru memungkinkan kita untuk menghayati dan berkiprah dalam hidup ini secara lebih leluasa dan bebas. Selaku umat percaya kita dipanggil untuk menggunakan setiap waktu secara lebih bertanggungjawab dan efisien. Bukankah semakin kita menyadari bahwa waktu kedatangan Kristus akan terjadi setiap saat, kita justru akan berupaya untuk  efisien dalam mengatur dan merencanakan kehidupan kita? Lebih penting lagi, kita juga  tidak perlu selalu dibayang-bayangi oleh peristiwa akhir zaman sehingga kita dapat melakukan hal-hal yang lebih berarti dan bermanfaat bagi sesama.

Hidup dalam rahasia waktu Allah berarti kita juga menempatkan peristiwa kenaikan Tuhan Yesus dari sudut rahasia ilahi. Kita sering menganggap bahwa misteri dari peristiwa kenaikan Tuhan Yesus selalu dapat dijelaskan secara ilmiah atau hukum alam. Akibatnya umat manusia sering menganggap kenaikan Tuhan Yesus hanyalah sebagai suatu ilusi atau kisah yang metaforis ketika peristiwa tersebut dianggap bertentangan dengan hukum gravitasi bumi. Padahal Kristus yang naik ke surga adalah Kristus yang telah bangkit dan mengenakan tubuh kemuliaanNya. Sehingga tubuh kemuliaan Kristus pada hakikatnya tidak lagi mengenal batasan ruang dan waktu. Dia ada di suatu tempat dan sekaligus berada di semua tempat. KehadiranNya melampaui batasan fisik dan jangkauan keberadaan manusia. Karena itu waktu kedatanganNya yang mulia tidak dapat dihitung atau diperkirakan oleh manusia. Jika demikian, setelah kenaikanNya Kristus ke surga seharusnya umat manusia mengimani bahwa kuasa dan kemuliaan Kristus telah memenuhi kehidupan mereka. Tepatnya peristiwa pemulihan yang dilakukan oleh Kristus bukan saja terjadi nanti pada waktu kedatanganNya yang kedua, tetapi sebenarnya telah terjadi saat itu sampai Dia datang kembali.  Sebab karya pemulihan yang dikerjakan oleh Kristus sering serba tersembunyi atau tidak nampak seperti tanaman yang terus tumbuh untuk menghasilkan buah. Walau tidak nampak secara indrawi, karya pemulihan Kristus akan efektif menghasilkan transformasi atau pembaharuan hidup saat  umat memberi respon iman kepadaNya.

Saksi Dengan Kuasa
Sebagaimana dipahami dunia sebagai titik singgung kilatan kekekalan Allah yang telah berinkarnasi di dalam Kristus, maka titik singgung tersebut bukanlah sekedar “locus” atau tempat yang tidak bermakna. Sebaliknya titik singgung, yaitu kehidupan umat manusia di mana Anak Allah berkarya, wafat, bangkit dan naik ke surga adalah wujud dari tindakan Allah yang merangkul umat manusia dalam pelukan kasihNya. Dengan kata lain, dunia kehidupan umat manusia di mana Kristus mengurbankan diri untuk menebusnya merupakan sasaran utama dari kasih Allah. Sehingga dalam iman kepada Kristus, seharusnya umat percaya semakin berperan dalam visi kekekalan dari Kerajaan Allah. Untuk itulah Tuhan Yesus memanggil setiap umat percaya menjadi saksi Kristus, yaitu saksi yang mau diperlengkapi dengan Roh Kudus. Di Kis. 1:8 sebelum Tuhan Yesus naik ke surga, Dia berkata: “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi". Untuk mewujudkan visi kekal Kerajaan Allah, maka umat percaya harus diperlengkapi dengan kuasa Roh Kudus. Visi kekal Kerajaan Allah tidak mungkin direalisasikan dalam kehidupan ini jika umat percaya mengandalkan kepada kekuatan dan kemampuannya sendiri. Demikian pula visi kekal Kerajaan Allah tidak dapat dibangun oleh imaginasi dan khayal manusia. Saat Tuhan Yesus naik ke surga, para murid tetap menatap ke langit walaupun Tuhan Yesus telah lenyap. Sikap para murid tersebut ditegur oleh malaikat Tuhan, yaitu: "Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga" (Kis. 1:11). Dalam kehidupan sehari-hari, bukankah kita terlalu mudah mengidentikkan hasil khayal atau imaginasi kita dengan visi kekal Kerajaan Allah. Dengan kata lain, kita sering menganggap “teologi” atau berbagai keinginan dan cita-cita kita sebagai realitas Kerajaan Allah.

Dengan bangunan teologis dan spiritualitas yang demikian, tidak mengherankan jikalau gereja Tuhan sering gagal menjadi saksi Kristus yang hidup. Sebab gereja Tuhan tidak lagi menyaksikan Kristus dengan kuasa Roh Kudus, tetapi mereka menyaksikan Kristus dengan pola pemikiran dan keinginannya yang subyektif. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau Ludwig Feuerbach (1804-1872) menuduh bahwa gereja pada zamannya menyatakan tentang Allah yang sebenarnya hasil proyeksi manusia. Tepatnya bagi Feuerbach, Allah adalah tidak lebih daripada manusia: Allah adalah proyeksi luar dari hakikat batin manusia sendiri. Penyebabnya adalah karena gereja dalam perjalanan sejarahnya sering menganggap konsep-konsep teologisnya sebagai “pengajaran yang paling benar”. Kita sering menghadapi kerancuan antara kebenaran firman Allah dengan doktrin atau pandangan teologis manusiawi. Pola pemikiran inilah yang kelak melahirkan sikap fundamentalisme. Segala sesuatu yang berbeda akan dianggap sebagai “kafir”. Karena itu mereka menganggap diri sebagai denominasi yang lebih “alkitabiah” atau “injili”. Padahal makna menjadi “saksi” yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus adalah saksi yang semata-mata dihidupi oleh kuasa Injil yang di dalamnya Roh Kudus menguasai hidup umat. Jadi kita tidak perlu membuat “klaim” kebenaran Kristus terhadap diri kita sendiri, sebab yang dikehendaki oleh Allah adalah suatu pembuktian spiritualitas diri, yaitu bagaimana kebenaran Kristus menguasai kehidupan kita.

Panggilan
Pembuktian spiritualitas diri akan menjadi suatu kenyataan apabila makna sebagai “saksi” Kristus ditempatkan dalam konteks hidup seorang hamba, bukan sebagai seseorang yang memiliki kuasa. Selama kita merasa diri memiliki kuasa dan pengaruh yang dapat diandalkan, maka kita tidak akan pernah mampu mewujudkan visi kekal Kerajaan Allah. Visi pelayanan dan hidup kita yang demikian akan seperti visi dari para murid Yesus yang hanya menghendaki pemulihan yang sifatnya temporal dan duniawi, yaitu kerajaan bagi Israel. Pengajaran, teologi dan arah pelayanan kita tersebut pada akhirnya akan lebih cenderung kepada pemulihan internal gerejawi, tetapi kita tidak pernah berhasil melaksanakan pembangunan masyarakat dan bangsa. Padahal dengan tegas makna menjadi saksi yang melayani atau menghamba ditempatkan oleh Tuhan Yesus dalam kerangka yang lebih luas, yaitu: “dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi".  Arah visi kekal Kerajaan Allah adalah gerak yang sentrifugal, yaitu gerak yang dimulai dari pusat dan terus melebar keluar, sehingga menjangkau keseluruhan aspek kehidupan umat manusia. Arah dan gerak dari visi Kerajaan Allah adalah terciptanya keutuhan ciptaan yang disatukan dan dikuduskan oleh Kristus. Jika demikian, bagaimanakah sikap saudara dalam memahami makna peristiwa Tuhan Yesus naik ke surga? Apakah kita masih terjebak dalam sikap subyektivisme dan lingkup yang temporal-duniawi sehingga kita gagal untuk memberlakukan sistem nilai Kerajaan Allah yang melampaui batas-batas kefanaan dan keberdosaan kita? Amin.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
www.yohanesbm.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar